Kuak Rahasia Kelam Guantanamo, Ben Taub Raih Pulitzer Prize 2020
Jurnalis The
New Yorker, Ben Taub, diumumkan sebagai pemenang The Pulitzer Prize 2020 kategori Feature Writing atas tulisannya berjudul "Guantanamo's Darkest
Secret". Dalam laporan pihak penyelenggara, Ben Taub diganjar penghargaan
tersebut atas tulisan dahsyatnya dalam menguak kisah seseorang yang diculik,
disiksa, dan dirampas kebebasannya selama lebih satu dekade di Penjara
Guantanamo, dengan reportase lapangan yang mendalam yang dipadukan dengan gaya
prosa liris yang kuat.
Ben Taub
lahir pada 9 Januari 1991, merupakan jurnalis Amerika yang bergabung dengan The New Yorker sejak tahun 2017 silam sebagai staf penulis,
dengan spesifikasi tema laporan terkait jihadisme, kejahatan, konfilk, dan
seputar hak asasi manusia, terutama yang terjadi di wilayah Afrika dan Timur Tengah.
Pada tahun 2017, karyanya mengenai Suriah (yang ditulis atas dukungan Pulitzer Center on Crisis Reporting)
masuk daftar pendek untuk National
Magazine Award dan memenangkan Livingston
Award for International Reporting dan sejumlah penghargaan lainnya. Taub juga
menerima ASME Next Award for Journalists
Under 30, yang merupakan penghargaan bergengsi untuk jurnalis berbakat berusia
di bawah 30 tahun. Tahun 2019, laporan Taub mengenai kampanye balas dendam
pasca-ISIS Irak memenangkan penghargaan the
National Magazine Award for Reporting dan penghargaan the George Polk Award for Magazine Reporting. Kemenangan Ben Taub
pada The Pulitzer Prize 2020 kategori
Feature Writing barangkali merupakan
penghargaan terbesarnya sejauh ini.
*
* *
Rahasia Kelam Guantanamo
Ben Taub
membuka reportasenya dengan kesaksian Steve Wood, anggota Garda Nasional Oregon
(Oregon National Guard) yang ditugaskan
menjaga satu blok sel tahanan di Guantanamo khusus mengawasi orang-orang yang ditangkap
di medan perang Afghanistan dan mereka yang ditengarai akan kembali melakukan misi
sebagaimana peristiwa 9/11. Pada suatu ketika, Wood ditugaskan untuk bekerja
shift malam di Echo Special, sebuah unit rahasia di Guantanamo yang dibangun
untuk menampung tahanan kelas kakap bernilai tinggi di Amerika Serikat. Seorang
sersan mayor yang menugasi Wood berjaga
malam, secara khusus mengatakan bahwa orang yang dikurung di Echo Special
adalah tahanan nomor 760. Ketika Wood menelusuri identitas tahanan 760 tersebut
di basis data tahanan Guantanamo, ia tidak menemukan apa pun.
Sebelum
tugas pertamanya di Echo Special, Wood diperintahkan untuk menerapkan standar
keamanan khusus—yang membuatnya berpikir bahwa sosok yang harus dijaganya kali ini
benar-benar orang penting yang mungkin saja adalah orang yang paling berbahaya
di dunia.
Namun persepsi
Wood tentang tahanan nomor 760 itu seketika berubah ketika suatu hari, tahanan
yang hanya memiliki bantal sebagai satu-satunya benda yang dimilikinya di dalam
sel tersebut boleh keluar dari ruangannya di Echo Special, Wood terkejut ketika
sosok yang sempat dianggapnya sebagai orang paling berbahaya di dunia itu ternyata
hanyalah seorang pria pendek berusia pertengahan tiga puluhan tahun yang
kemudian, dengan senyum lebar dan pakaian putihnya tersenyum ramah dan
memperkenalkan diri: Mohamedou Salahi.
Sosok yang sepenuhnya berkebalikan dengan apa yang selama ini dibayangkannya, membuat Wood semakin penasaran dengan sosok tersebut: siapa dia sebenarnya? dan kesalahan apa yang membuatnya harus ditahan di penjara yang paling ketat dan dikenal paling kejam sedunia?
*
* *
Salahi, Sang Tahanan
Dalam
berbagai data yang dikumpulkan oleh badan militer, penegak hukum, dan intelijen
Amerika Serikat. Mohamedou Salahi dicitrakan sebagai "seorang insinyur
yang sangat cerdas, salah satu tokoh kunci Al-Qaeda, dan dianggap sebagai tokoh
yang memiliki peran penting dalam sejumlah gerakan yang menelan korban massal.
Beberapa catatan penting lain tentang Salahi di antaranya adalah: berbaiat
kepada Osama bin Laden pada tahun 1991, sempat pindah ke Jerman untuk merekrut
anggota Al-Qaeda di Eropa (di antara orang yang direkrutnya adalah tiga dari
pembajak pesawat dalam sejrang 9/11). Dan data intelijen menunjukkan bahwa
tahun 1998, tidak lama setelah Al-Qaeda meledakkan bom truk di Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania, Salahi menerima telepon dari nomor
telepon milik Osama bin Laden. Data-data tersebut, dan sejumlah data intelijen
yang menunjukkan keterkaitan Salahi dengan sejumlah aksi teror di tahun-tahun
berikutnya, dianggap cukup untuk menempatkan Salahi sebagai salah satu orang yang
paling berbahaya di dunia.
Sejak
ditahan di Guantanamo tahun 2002, Salahi menjalani berbagai penyiksaan: ditahan
di sel dengan suhu ekstrem, mendapatkan pukulan dan penyekapan dari segerombol
orang di dalam selnya sendiri, bahkan mengalami pelecehan seksual di penjara. Dalam
suatu kesempatan, Salahi pernah ditutup matanya, dibawa dengan menggunakan
kapal seakan-akan dieksekusi di tengah laut—pengalaman menghadapi eksekusi yang
tentu saja menimbulkan trauma mendalam bagi Salahi. Barangkali, satu-satunya
alasan yang membuat Salahi tidak dieksekusi adalah karena ia berkenan
memberikan sejumlah informasi penting yang dianggap "menyelamatkan ribuan
nyawa orang Amerika."
Sejak tahun
2005, Salahi menulis pengalamannya selama berada di penjara, suatu kondisi yang
disebutnya sebagai "sebuah usaha menemukan kebahagiaan di tempat yang
tanpa harapan". Memoar yang kelak
diterbitkan dengan judul Guantanamo Diary
pada tahun 2015 tersebut merupakan buku yang ditulis oleh tahanan pertama yang
diterbitkan saat sang tahanan masih berada di dalam penjara. Oleh pemerintah
Amerika Serikat, Salahi dilarang menerima salinan bukunya. Buku tersebut juga
bisa terbit setelah banyak mengalami penyuntingan dan sensor.
*
* *
Sejumlah Investigasi
Pada Januari
2009, ketika Presiden Barack Obama menyatakan komitmennya untuk menutup penjara
Guantanamo, ia membentuk sejumlah lembaga untuk meninjau para tahanan dan
memberikan sejumlah rekomendasi tentang tahanan yang berpotensi dibebaskan.
Dalam laporan tahun 2010, satuan tugas tersebut merekomendasikan Salahi untuk
dipertimbangkan pembebasannya, sebab penahanannya pada tahun 2002 tidak
disertai bukti yang cukup kuat. Sejumlah temuan juga menunjukkan bahwa tim invertigator
Penjara Guantanamo banyak yang tidak memiliki kecakapan melakukan investigasi,
terutama dalam menginvestigasi tersangka yang tidak berbahasa Inggris secara
aktif. Sejumlah temuan juga menunjukkan bahwa dalam proses interogasi terhadap
Salahi, para investigator menggunakan teknik interogasi yang telah dilarang
oleh Sekretariat Pertahanan Amerika sejak Desember 2002.
Salahi tercatat beberapa kali melakukan banding atas penahanannya, terutama atas penyiksaan terhadapnya yang dilakukan berulang-ulang.
Pada tahun 2010, setelah berbagai peninjauan atas kasus Salahi, Hakim Pengadilan Distrik AS memberikan surat perintah untuk membebaskan Salahi pada 22 Maret 2010. Namun keputusan tersebut menuai sejumlah kritik dari para politisi Amerika Serikat. Berbagai sidang dan banding lanjutan terus dilakukan hingga akhirnya Salahi benar-benar dibebaskan pada 17 Oktober 2016.
*
* *
Reportase Ben Taub
Berangkat
dari sejumlah data investigasi terhadap Salahi, juga wawancara mendalamnya
dengan Steve Wood—anggota Garda Nasional Oregon yang belakangan memilih
mengundurkan diri dari pekerjaannya karena tidak sesuai dengan hati nuraninya—Ben
Taub menulis mengenai hari-hari penyisaan Mohamedou Salahi di Guantanamo, juga sedikit
kilas balik tentang kehidupan Salahi sebelum ditahan di Guantanamo tanpa alasan
yang kuat, dengan menyoroti berbagai skandal dan pengabaian terhadap hak asasi
manusia di Penjara Guantanamo, mulai dari kejamnya perlakuan terhadap
narapidana, ketidakcakapan para investigator, hingga alasan-alasan yang
seringkali dibuat-buat dan sejumlah pemalsuan lain yang dilakukan pihak Penjara
Guantanamo untuk memenjarakan sejumlah narapidana.
Reportase
Ben Taub diakhiri dengan catatan mengenai keakraban antara Mohamedou Salahi dan
Steve Wood, si mantan sipir Guantanamo yang belakangan memutuskan menjadi
mualaf karena tertarik dengan kehidupan Salahi yang disaksikannya sendiri
selama di penjara, sosok yang menurutnya selalu terlihat lebih tenang dan damai
setiap usai menjalankan salat lima waktu.
Hari-hari
penantian Salahi menunggu kelahiran anak pertamanya menjadi cerita pamungkas
dalam reportase Ben Taub. []
Catatan
akhir:
Tulisan
di atas disarikan dari berbagai sumber, terutama tulisan Ben Taub berjudul "Guantanamo's
Darkest Secret" yang diterbitkan di The New Yorker pada 22 April 2019.

Subscribe Our Newsletter
makasih sharingnya
BalasHapus